Menjalani ibadah haji tidak hanya menuntut kesiapan fisik, tetapi juga kekuatan mental yang stabil. Banyak jemaah yang terlalu fokus menjaga kesehatan tubuh dengan menghindari penyakit seperti batuk, flu, atau kelelahan, namun justru mengabaikan satu aspek penting lainnya—yaitu kesehatan jiwa. Padahal, tekanan mental atau stres bisa menjadi ancaman serius selama menjalankan rangkaian ibadah di Tanah Suci, terutama saat menghadapi cuaca ekstrem, kerumunan besar, hingga perbedaan rutinitas dan jam biologis.
Stres selama ibadah haji bisa muncul secara tiba-tiba. Keletihan, kurang tidur, perubahan pola makan, serta rasa cemas karena berada jauh dari keluarga sering kali membuat jemaah merasa tertekan tanpa disadari. Dalam kondisi seperti ini, seseorang bisa mengalami gejala stres seperti sulit konsentrasi, mudah marah, gelisah, bahkan menangis tanpa sebab. Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan ibadah, bahkan berisiko menyebabkan gangguan kesehatan yang lebih serius.
Sayangnya, tidak semua jemaah menyadari bahwa tekanan psikologis ini harus ditangani dengan baik. Mengabaikan tanda-tanda stres bisa membuat seseorang kehilangan fokus saat wukuf di Arafah atau saat melontar jumrah, yang merupakan bagian penting dalam rukun haji. Dukungan dari sesama jemaah, komunikasi terbuka dengan pembimbing ibadah, serta menyempatkan waktu untuk relaksasi sederhana sangat dianjurkan demi menjaga ketenangan hati dan pikiran selama menjalankan ibadah yang penuh makna ini.
Maka dari itu, menjaga kondisi mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik. Jemaah perlu memahami bahwa ketenangan batin adalah kunci agar dapat menjalankan seluruh rangkaian ibadah dengan khusyuk. Jangan anggap enteng gejala stres, karena ibadah yang sempurna hanya bisa dicapai ketika tubuh dan jiwa sama-sama dalam keadaan siap dan ikhlas. Dengan kesiapan mental yang matang, jemaah akan lebih mampu menghadapi segala tantangan dan pulang sebagai haji yang mabrur.